Timpangnya Anggaran Pendidikan: Sekolah Kedinasan vs Pendidikan Dasar

Pendidikan adalah investasi jangka panjang yang paling berharga bagi suatu bangsa. Melalui pendidikan yang berkualitas, sebuah negara dapat mencetak generasi unggul yang mampu bersaing di kancah global, sekaligus memperkuat fondasi sosial, budaya, dan ekonomi masyarakatnya. Tidak heran jika banyak ahli menyebut pendidikan sebagai “senjata paling ampuh untuk mengubah dunia.”

Timpangnya Anggaran Pendidikan: Sekolah Kedinasan vs Pendidikan Dasar


Indonesia sendiri sudah menegaskan komitmen pentingnya pendidikan melalui Pasal 31 Undang-Undang Dasar 1945. Dalam aturan tersebut, negara diwajibkan mengalokasikan sekurang-kurangnya 20 persen Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk sektor pendidikan. Amanat konstitusi ini bertujuan agar setiap warga negara, tanpa terkecuali, bisa mengakses pendidikan yang layak dan bermutu.

Namun, dalam praktiknya muncul kontroversi. Meski secara angka pemerintah menyatakan anggaran pendidikan sudah sesuai dengan porsi 20 persen APBN, distribusinya dianggap tidak merata. Salah satu isu terbesar adalah kesenjangan antara dana yang digelontorkan untuk pendidikan kedinasan—yang hanya mencakup belasan ribu mahasiswa—dengan anggaran untuk pendidikan dasar dan menengah yang melibatkan puluhan juta siswa di seluruh Indonesia.

Fenomena inilah yang menimbulkan tanda tanya besar: apakah alokasi anggaran pendidikan saat ini sudah adil dan tepat sasaran?

Setiap tahun, pemerintah selalu menegaskan komitmen alokasi 20 persen APBN untuk pendidikan. Dalam APBN 2025–2026, jumlah dana yang disiapkan untuk sektor ini mencapai Rp 757,8 triliun. Angka tersebut memang terlihat besar, namun pembagian di dalamnya menimbulkan perdebatan.

Salah satu isu paling menonjol adalah porsi yang diterima oleh pendidikan kedinasan. Berdasarkan data yang sempat dipublikasikan di berbagai media, seperti Suara.com dan dibahas dalam kanal YouTube Akbar Faizal Uncensored, sekitar Rp 104 triliun dialokasikan untuk mendukung pendidikan kedinasan. Menariknya, dana sebesar itu hanya diperuntukkan bagi sekitar 13 ribu mahasiswa sekolah kedinasan.

Sebaliknya, untuk sektor yang mencakup jumlah siswa jauh lebih besar, yaitu pendidikan dasar, menengah, hingga universitas umum, dana yang diterima justru lebih kecil. Hanya sekitar Rp 94 triliun yang dibagi untuk puluhan juta siswa di seluruh Indonesia.

Ketimpangan angka ini kemudian menjadi sorotan publik. Bagaimana mungkin alokasi untuk 13 ribu mahasiswa bisa lebih besar daripada dana untuk puluhan juta siswa lain? Pertanyaan tersebut tidak hanya muncul di media, tetapi juga ramai diperdebatkan oleh akademisi, pakar kebijakan publik, hingga anggota DPR.

Jika dihitung secara sederhana, perbandingan alokasi anggaran antara sekolah kedinasan dan pendidikan umum terlihat sangat timpang. Dengan Rp 104 triliun untuk 13 ribu mahasiswa kedinasan, maka rata-rata satu mahasiswa bisa “terhitung” mendapat dukungan lebih dari Rp 8 miliar.


Sebaliknya, pada sektor pendidikan dasar hingga universitas umum, Rp 94 triliun harus dibagi untuk puluhan juta siswa di seluruh Indonesia. Angka ini jika dibagi rata hanya bernilai ratusan ribu rupiah per siswa—jauh di bawah alokasi per mahasiswa kedinasan.

Ketimpangan distribusi dana ini membawa beberapa dampak serius:

Kualitas pendidikan dasar berpotensi tertinggal.

Dengan sumber daya terbatas, banyak sekolah umum yang masih kekurangan fasilitas, guru berkualitas, maupun sarana belajar modern.

Muncul ketidakadilan antar siswa.

Mahasiswa kedinasan, yang jumlahnya kecil, mendapat dukungan luar biasa besar, sementara jutaan siswa lain harus puas dengan porsi jauh lebih sedikit.

Risiko kesenjangan sosial dan akses pendidikan.

Jika pola ini berlanjut, pendidikan kedinasan bisa dianggap “eksklusif” dan lebih bergengsi karena dukungan negara yang melimpah, sedangkan pendidikan dasar dan menengah semakin sulit mengejar ketertinggalan.

Analisis ini memperlihatkan bahwa persoalan bukan hanya soal nominal, tetapi tentang proporsionalitas dan keadilan dalam mengalokasikan anggaran pendidikan.

Konstitusi Indonesia dengan tegas menyebutkan bahwa sekurang-kurangnya 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) harus dialokasikan untuk pendidikan (Pasal 31 ayat 4 UUD 1945). Ketentuan ini lahir dari kesadaran bahwa pendidikan adalah fondasi utama kemajuan bangsa.

Pemerintah memang sering mengklaim telah memenuhi amanat tersebut. Namun, jika ditelusuri lebih dalam, sebagian besar anggaran pendidikan ditempatkan dalam bentuk dana abadi pendidikan atau pos pembiayaan, bukan langsung dalam bentuk anggaran operasional untuk sekolah dasar, menengah, dan perguruan tinggi umum.

Hal ini menimbulkan kritik dari berbagai pihak, termasuk anggota DPR, pengamat, dan akademisi, yang menilai bahwa praktik tersebut berpotensi “memanipulasi” kewajiban konstitusi. Secara angka 20% memang terpenuhi, tetapi secara manfaat langsung ke sekolah dan siswa, porsinya masih jauh dari ideal.

Di sisi lain, kebijakan anggaran yang sangat besar untuk sekolah kedinasan juga dipertanyakan. Sekolah kedinasan memang penting karena mencetak aparatur negara, tetapi jika porsi anggaran yang diberikan tidak sebanding dengan jumlah penerima manfaat, maka hal ini berpotensi melanggar prinsip keadilan sosial dalam pendidikan.

Dengan demikian, problematika ini bukan sekadar soal pemenuhan pasal UUD 1945, melainkan juga bagaimana memastikan implementasi anggaran benar-benar dirasakan oleh mayoritas rakyat yang bersekolah di jalur pendidikan dasar dan menengah.

Kesenjangan anggaran antara sekolah kedinasan dan pendidikan dasar menimbulkan sejumlah dampak serius terhadap masa depan pendidikan di Indonesia:


Kesenjangan Mutu Pendidikan

Ketika sekolah kedinasan memperoleh anggaran besar, mereka bisa menyediakan fasilitas modern, dosen terbaik, hingga tunjangan penuh bagi mahasiswanya. Sebaliknya, banyak sekolah dasar dan menengah masih kekurangan sarana dasar seperti ruang kelas layak, laboratorium, hingga perpustakaan memadai. Hal ini berpotensi memperlebar jurang mutu pendidikan.

Risiko Elitisme Pendidikan Kedinasan

Mahasiswa sekolah kedinasan dianggap sebagai kelompok “istimewa” yang mendapat akses dana besar dari negara. Kondisi ini bisa menimbulkan elitisme, seolah-olah pendidikan kedinasan lebih penting dibanding pendidikan rakyat umum. Padahal, pendidikan dasar justru menyangkut jutaan siswa yang akan menentukan kualitas sumber daya manusia Indonesia ke depan.

Ancaman Terhadap Pemerataan Akses

Kesenjangan distribusi dana membuat kesempatan memperoleh pendidikan berkualitas tidak merata. Siswa di daerah, terutama di sekolah umum, berisiko tertinggal jauh dibanding segelintir mahasiswa kedinasan. Jika dibiarkan, hal ini bisa menimbulkan ketidakadilan sosial dan memperburuk ketimpangan antarwilayah.

Dengan kata lain, alokasi anggaran yang timpang tidak hanya masalah teknis keuangan, melainkan juga menyangkut masa depan generasi bangsa. Jika distribusi tidak segera diperbaiki, cita-cita mencetak generasi emas Indonesia 2045 bisa terancam hanya menjadi jargon semata.

Agar masalah ketimpangan anggaran pendidikan tidak terus berlanjut, ada beberapa langkah strategis yang bisa ditempuh:


Meningkatkan Transparansi Anggaran

Pemerintah perlu membuka secara detail porsi anggaran pendidikan—baik untuk sekolah kedinasan maupun pendidikan dasar-menengah. Publik berhak tahu ke mana larinya dana 20% APBN untuk pendidikan. Transparansi ini akan meminimalisir kecurigaan dan meningkatkan kepercayaan masyarakat.

Memperbesar Alokasi untuk Pendidikan Dasar dan Menengah

Prioritas utama seharusnya adalah pendidikan dasar dan menengah, karena menyangkut jutaan siswa di seluruh Indonesia. Anggaran yang besar di tingkat ini akan berdampak langsung pada kualitas sumber daya manusia secara luas.

Menyeimbangkan Kebutuhan Sekolah Kedinasan

Sekolah kedinasan tetap penting untuk menyiapkan birokrat unggul, namun porsinya harus proporsional. Jangan sampai dana triliunan rupiah hanya dinikmati segelintir orang, sementara puluhan juta siswa lain masih berjuang dengan fasilitas terbatas.

Penguatan Peran Masyarakat Sipil

Organisasi masyarakat, akademisi, hingga media perlu ikut mengawasi kebijakan anggaran pendidikan. Kontrol publik yang kuat akan mendorong pemerintah lebih adil dalam menyusun kebijakan.

Dengan langkah-langkah ini, anggaran pendidikan tidak hanya besar di angka, tetapi juga tepat sasaran dan benar-benar memberi manfaat luas bagi seluruh rakyat Indonesia.

Posting Komentar untuk "Timpangnya Anggaran Pendidikan: Sekolah Kedinasan vs Pendidikan Dasar"

Menyalinkode AMP
loading...