Ketika Guru Indonesia Dianggap Kurang Berkualitas: Sebuah Refleksi dari Lapangan

 

Ketika Guru Indonesia Dianggap Kurang Berkualitas: Sebuah Refleksi dari Lapangan

Sudah terlalu sering kita mendengar kalimat ini di berbagai forum pendidikan:

“Kualitas guru di Indonesia masih rendah.”


Kalimat yang seolah menjadi kebenaran mutlak, diulang dari seminar ke seminar, dari laporan ke laporan.

Namun, jarang ada yang mau berhenti sejenak dan bertanya,

“Rendah dibanding siapa? Dalam kondisi seperti apa? Dengan dukungan apa?”


Sebagai guru yang bekerja di lapangan, saya merasa pernyataan itu sering tidak adil.

Bukan karena guru Indonesia sudah sempurna — tentu belum — tetapi karena konteks perjuangan yang dihadapi guru di negeri ini sangat berbeda dengan mereka yang dijadikan pembanding di luar negeri.


Guru Tidak Pernah Berdiri Sendiri

Ketika kita melihat guru di Finlandia, Jepang, atau Singapura, kita memang terkesima:

Mereka inovatif, kolaboratif, dan berwawasan luas.

Namun jarang disadari, guru-guru itu berdiri di atas sistem pendidikan yang sungguh kuat dan mendukung.

Mereka bekerja di lingkungan yang:

  • Mengatur jam mengajar wajar (16–20 jam per minggu),
  • Memberi waktu khusus untuk refleksi dan kolaborasi antar-guru,
  • Dilengkapi fasilitas belajar dan teknologi pendidikan yang memadai,
  • Didukung orang tua dan masyarakat yang menghargai profesi guru.
Di Indonesia, banyak guru bekerja dalam kondisi yang jauh berbeda:
  • Mengajar lebih dari 30 jam per minggu,
  • Harus mengurus administrasi, laporan, dan tugas tambahan,
  • Sering mengikuti pelatihan dengan biaya pribadi,
  • Dan menghadapi orang tua yang kurang terlibat dalam proses belajar anak.

Apakah adil, jika dua realitas yang begitu berbeda ini diukur dengan penggaris yang sama?


Kualitas Bukan Hanya Soal Kemampuan, Tapi Kesempatan

Kualitas guru tidak hanya diukur dari kompetensi individunya,

tetapi juga dari peluang profesional yang diberikan oleh sistem.

Guru di luar negeri bisa berkembang karena mereka diberi waktu, dukungan, dan kepercayaan.

Sedangkan banyak guru Indonesia justru berjuang mengembangkan diri di sela waktu istirahat.

Jadi, bukan berarti guru kita kurang mampu,

tetapi belum sepenuhnya diberi ruang dan fasilitas untuk tumbuh.


Budaya “Mengagungkan Luar Negeri”

Ada kebiasaan lama di negeri ini:

Ketika bicara pendidikan, kita sering menatap ke luar negeri dengan kekaguman,

tapi jarang menatap ke dalam dengan kebanggaan.

Kita belajar banyak dari negara lain — itu baik.

Namun belajar bukan berarti meniru mentah-mentah.

Setiap negara punya konteks sosial dan budaya sendiri.

Guru di Finlandia mengajar dalam budaya membaca yang tinggi;

guru di Jepang dibentuk dalam disiplin dan rasa tanggung jawab kolektif;

sementara guru Indonesia bekerja di tengah masyarakat yang masih berjuang membangun literasi dan etika belajar.

Tugas kita bukan menjadi seperti mereka,

tetapi menjadi versi terbaik dari guru Indonesia — dengan kearifan lokal dan semangat gotong royong yang kita miliki.


Realita yang Tidak Terlihat di Data

Ketika saya melihat rekan-rekan guru di berbagai daerah,

saya melihat sesuatu yang jarang tertulis dalam laporan statistik:

Guru yang membuat LKPD kreatif dari pengalaman hidup muridnya,

Guru yang menghubungkan matematika dengan koperasi mini, sawah, atau pasar tradisional,

Guru yang membimbing anak-anak sambil tetap mengurus keluarga dan masyarakatnya.

Inilah kualitas sejati yang tidak selalu bisa diukur dengan skor ujian.

Guru-guru seperti ini tidak butuh label “unggul internasional” —

karena mereka sudah luar biasa di tempatnya berdiri.


Masalahnya Bukan pada Guru, Tapi pada Ekosistemnya


Guru Indonesia tidak kekurangan dedikasi, kreativitas, atau semangat belajar.

Yang sering kurang adalah dukungan sistemik: waktu, fasilitas, dan penghargaan.

Selama kita terus mengukur guru dengan standar yang tidak melihat konteks,

kita akan terus menuduh tanpa pernah benar-benar memahami.

Padahal, yang perlu dibangun bukan hanya kompetensi guru,

tetapi ekosistem yang membuat guru mampu terus belajar dan berkembang.


“Masalahnya bukan pada kualitas guru Indonesia,

tapi pada cara bangsa ini memperlakukan gurunya.”


Guru Indonesia tidak kalah. Mereka hanya belum sepenuhnya dipercaya dan difasilitasi untuk menunjukkan potensi terbaiknya.

Dan selama masih ada guru yang mau belajar, mau berbagi, dan mau berjuang di tengah keterbatasan —

pendidikan di negeri ini tidak pernah benar-benar kehilangan harapan.


Catatan Penulis

Tulisan ini lahir dari refleksi saya sebagai guru yang terus belajar.

Saya percaya perubahan besar dalam pendidikan tidak selalu datang dari atas,

tetapi sering bermula dari ruang kelas yang kecil,

dari guru-guru yang terus mencoba membuat pembelajaran lebih bermakna,

dan dari keberanian kita untuk berpikir dengan cara yang lebih adil terhadap profesi kita sendiri.


Posting Komentar untuk "Ketika Guru Indonesia Dianggap Kurang Berkualitas: Sebuah Refleksi dari Lapangan"

Menyalinkode AMP
loading...